<$BlogRSDUrl$>
ini untuk banner blogger
  tempatkita       tempatku  
   
 
     
 

Saturday, May 29, 2004

s i g h t

Dear dreamer

Sebulan lamanya, sejak 4 sekawan selesai berkumpul, berkeluh kesah, mengiang bersama dalam idealiesme hidup, hidup mulia, damai tenang, dalam keluarga (baca lingkungan - red) yang sakinah mawadah. Celoteh politik, celoteh sosial, celoteh cinta sampai pada celoteh penghidupan berlari kesana kemari menembus waktu yang sangat cekak. Tak ada jaminan celoteh itu tepat, sepertihalnya semua kecap nomor satu, semua mengaku benar sampai akhirnya kebosanan mendengar dihentikan pelupuk mata yang letih dan lelah. Tapi satu hal yang pasti pikiran, cipta karya, rasa 4 sekawan masihlah similar, layaknya akar masihlah kuat mencakar hati dan otak milik pria-pria kekar.

Eling-an 1 kawan menendang pikiran pemilik-pemilik mata yang kunang. "Bagaimana bangsa ini bisa maju, wong berkhayal saja enggan, wong berkhayal saja tak berani, ngaku aja tampang macho, tenaga kuda, giliran mengkhayal mengerut, layaknya pengecut" "Apa ruginya berkhayal, tak perlu kalian kirim inquiry ke supplier, tak perlu kalian hadir ke seminar, tak perlu kalian bertemu dosen pembimbing yang super sibuk" "Mudah saja keluar dari rutinitas yang membosankan, bikin diri se-rileks mungkin, pikir dengan tenang apa-apa yang anda inginkan" "Mudah bukan!" "Bikin yang banyak, sampe semua keinginan keluar dari sudut pikiran yang terkotak-kotak"

Step awal terlampui, sekarang saatnya ada berusaha siapa tahu bisa jadi enterpreuner beneran. Lajukan impian isi dengan bahan bakar doa dan usaha, kalo toh nantinya garis finish tak terengkuh, nggak usah ngeluh, setting kembali pikiran, skill dan strategy anda untuk lomba selajutnya. Valentino Rossi pernah kalah, Michael Scumacher pernah tidak finish bahkan Mardi Lestari, Nurhayati pun pernah pulang tanpa medali. Tapi cobalah kalian sadari pastilah mereka lebih cepat dari para penonton itu, karena apa? Karena penonton itu tidak ikut lomba, mereka hanyalah diam, tak berani ikut berusaha lomba (baca berkhayal -red). Semoga kalian semua tidak seperti penonton itu.

rawasaritigapuluhaprilduaribuempat

published by: Monsieur RaKah @ 12:01:00 PM

Thursday, May 27, 2004

s t o r y

Whiners or Winner?

Rasanya kita semua tidak kenal dengan orang yang bernama Jean-Dominique Bauby, kecuali jika anda perempuan dan berbahasa Perancis atau suka membaca majalah bernama Elle. Dia lah pemimpin redaksi Elle.

Tahun 1996 ia meninggal dalam usia 45 tahun setelah menyelesaikan memoarnya yang "ditulisnya" secara sangat istimewa dan diberinya judul Le Scaphandre et le Papillon (The Diving Bell and the Butterfly).

Tahun 1995 ia terkena stroke yang menyebabkan seluruh tubuhnya lumpuh. Ia mengalami apa yang disebut locked-in syndrome, kelumpuhan total yang disebutnya "seperti pikiran di dalam botol". Memang ia masih dapat berpikir jernih tetapi sama sekali tidak bisa berbicara maupun bergerak. Satu-satunya otot yang masih dapat diperintahnya adalah kelopak mata kirinya. Jadi itulah caranya berkomunikasi dengan para perawatnya, dokter rumah sakit, keluarga dan temannya. Mereka menunjukkan huruf demi huruf dan si Jean akan berkedip bila huruf yang ditunjukkan adalah yang dipilihnya.

"Bukan main", kata Anda. Ya, itu juga reaksi semua yang membaca kisahnya. Buat kita, kegiatan menulis mungkin sepele dan menjadi hal yang biasa. Namun, kalau kita disuruh "menulis" dengan cara si Jean, barangkali kita harus menangis dulu berhari-hari.

Betapa mengagumkan tekad dan semangat hidup maupun kemauannya untuk tetap menulis dan membagikan kisah hidupnya yang begitu luar biasa. Ia meninggal 3 hari setelah bukunya diterbitkan. Jadi, "Berapa pun problem dan stress dan beban hidup kita semua, hampir tidak ada artinya dibandingkan dengan si Jean!"

Apa yang a.l. ditulisnya di memoarnya itu? "I would be the happiest man in the world if I could just properly swallow the saliva that permanently invades my mouth". Bayangkan, menelan ludah pun ia tak mampu... Jadi kita yang masih bisa makan bakmi, ngga usahlah Bakmi Gajah Mada, indomie yang Rp 2500 saja, seharusnya sudah berbahagia 100 kali lipat dibanding si Jean. Kita bahkan senantiasa mengeluh, setiap hari, sepanjang tahun.

We are the constant whiners

Apa lagi yang dikerjakan Jean di dalam kelumpuhan totalnya selain menulis buku? Ia mendirikan suatu asosiasi penderita locked-in syndrome untuk membantu keluarga penderita. Ia juga menjadi "bintang film" alias memegang peran di dalam suatu film yang dibuat TV Perancis yang menceritakan kisahnya. Ia merencanakan buku lainnya setelah ia selesai menulis yang pertama. Pokoknya ia hidup seperti yang dikehendaki Penciptanya, to celebrate life, to do something good for others.

Jadi, betapa pun kemelutnya keadaan kita saat ini, mereka yang sedang stress berat, mereka yang sedang berkelahi baik dengan diri sendiri maupun melawan orang lain atau anggota keluarga, mereka yang sedang tidak bahagia karena kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi, mereka yang jalannya masih terpincang-pincang karena baru saja terinjak paku, mereka yang sedang di-PHK, saya yakin kita masih bisa menelan ludah. Semoga kita semua tidak terus menjadi whiner, pengeluh abadi, manusia yang sukar puas melainkan kita dapat menjadi winner, individu yang berjiwa dan berpikir sebagi pemenang, yang dapat mengatasi kesulitan apapun yang ia rasakan/gumuli. Kata orang bijak, "Think and Thank", berfikirlah dan kemudian bersyukurlah.

Yup! just one simple sentence:
"Be Thankful to GOD for what you are"
You just beautiful!

Author: Unknown

published by: Monsieur RaKah @ 9:01:00 PM

s t o r y

Pasangan dari Tuhan

Bertahun-tahun yang lalu, saya berdoa kepada Tuhan untuk memberikan saya pasangan, "Engkau tidak memiliki pasangan karena engkau tidak memintanya", Tuhan menjawab.

Tidak hanya saya meminta kepada Tuhan, saya menjelaskan kriteria pasangan yang saya inginkan. Saya menginginkan pasangan yang baik hati, lembut, mudah mengampuni, hangat, jujur, penuh dengan damai dan suka cita, murah hati, penuh pengertian, pintar, humoris, penuh perhatian. Saya bahkan memberikan kriteria pasangan tersebut secara fisik yang selama ini saya impikan.

Sejalan dengan berlalunya waktu, saya menambahkan daftar kriteria yang saya inginkan dalam pasangan saya. Suatu malam, dalam doa, Tuhan berkata dalam hati saya, "HambaKu, Aku tidak dapat memberikan apa yang engkau inginkan."

Saya bertanya, "Mengapa Tuhan?" dan Ia menjawab, "Karena Aku adalah Tuhan dan Aku adalah Adil. Aku adalah Kebenaran dan segala yang Aku lakukan adalah benar."

Aku bertanya lagi, "Tuhan, aku tidak mengerti mengapa aku tidak dapat memperoleh apa yang aku pinta dariMu?"

Jawab Tuhan, "Aku akan menjelaskannya kepadamu. Adalah suatu ketidak adilan dan ketidak benaran bagiKu untuk memenuhi keinginanmu karena Aku tidak dapat memberikan sesuatu yang bukan seperti engkau. Tidaklah adil bagiKu untuk memberikan seseorang yang penuh dengan cinta dan kasih kepadamu jika terkadang engkau masih kasar, atau memberikan seseorang yang pemurah tetapi engkau masih kejam, atau seseorang yang mudah mengampuni, tetapi engkau sendiri masih suka menyimpan dendam, seseorang yang sensitif, namun engkau sendiri tidak..."

Kemudian Ia berkata kepada saya, "Adalah lebih baik jika Aku memberikan kepadamu seseorang yang Aku tahu dapat menumbuhkan segala kualitas yang engkau cari selama ini daripada membuat engkau membuang waktu mencari seseorang yang sudah mempunyai semuanya itu. Pasanganmu akan berasal dari tulangmu dan dagingmu, dan engkau akan melihat dirimu sendiri di dalam dirinya dan kalian berdua akan menjadi satu. Pernikahan adalah seperti sekolah, suatu pendidikan jangka panjang. Pernikahan adalah tempat dimana engkau dan pasanganmu akan saling menyesuaikan diri dan tidak hanya bertujuan untuk menyenangkan hati satu sama lain, tetapi untuk menjadikan kalian manusia yang lebih baik, dan membuat suatu kerjasama yang solid. Aku tidak memberikan pasangan yang sempurna karena engkau tidak sempurna. Aku memberikanmu seseorang yang dapat bertumbuh bersamamu."

Ini diperuntukan bagi mereka
yang baru saja menikah,
yang sudah menikah,
yang akan menikah,
dan yang sedang mencari...

published by: Monsieur RaKah @ 7:00:00 PM

Tuesday, May 25, 2004

s i g h t

Rahasia 90/10
memang luar biasa!

Apa Rahasia 90/10? 10 persen kehidupan dibuat oleh hal-hal yang terjadi terhadap kita. 90 persen kehidupan ditentukan oleh bagaimana kita bereaksi/memberi respon.

Apa artinya? Kita sungguh-sungguh tidak dapat mengontrol 10 persen kejadian-kejadian yang menimpa kita. Kita tidak dapat mencegah kerusakan mobil. Pesawat mungkin terlambat, dan mengacaukan seluruh jadwal kita. Seorang supir mungkin menyalip kita di tengah kemacetan lalu-lintas. Kita tidak punya kontrol atas hal yang 10 persen ini. Yang 90 persen lagi berbeda. Kita menentukan yang 90 persen! Bagaimana? Dengan reaksi kita. Kita tidak dapat mengontrol lampu merah, tapi dapat mengontrol reaksi kita. Jangan biarkan orang lain mempermainkan kita, kita dapat mengendalikan reaksi kita! Mari lihat sebuah contoh.

Engkau sedang sarapan bersama keluarga. Adik perempuanmu menumpahkan secangkir kopi ke kemeja kerja mu. Engkau tidak dapat mengendalikan apa yang telah terjadi itu. Apa yang terjadi kemudian akan ditentukan oleh bagaimana engkau bereaksi. Engkau mengumpat. Engkau dengan kasar memarahi adikmu yang menumpahkan kopi. Dia menangis. Setelah itu, engkau melihat kepada istrimu, dan mengkritiknya karena telah menaruh cangkir kopi terlalu dekat dengan tepi meja. Pertempuran kata-kata singkat menyusul. Engkau naik pitam dan kemudian pergi mengganti kemeja. Setelah itu engkau kembali dan melihat adik perempuanmu sedang menghabiskan sarapan sambil menangis dan siap berangkat ke sekolah. Dia ketinggalan bis sekolah. Istrimu harus segera berangkat kerja. Engkau segera menuju mobil dan mengantar adikmu ke sekolah. Karena engkau terlambat, engkau mengendarai mobil melewati batas kecepatan maksimum. Setelah tertunda 15 menit karena harus membayar tilang, engkau tiba di sekolah. Adikmu berlari masuk. Engkau melanjutkan perjalanan, dan tiba di kantor terlambat 20 menit, dan engkau baru sadar, bahwa tas kerjamu tertinggal.

Hari-mu begitu buruk. Engkau ingin segera pulang. Ketika engkau pulang, engkau menemukan ada hambatan dalam hubungan dengan istri dan adikmu. Kenapa? Karena reaksimu pagi tadi.

Kenapa harimu buruk?
a) Karena secangkir kopi yang tumpah?
b) Kecerobohan adikmu?
c) Polisi yang menilang?
d) Karena dirimu sendiri?
Jawaban-nya adalah D.

Engkau tidak dapat mengendalikan tumpahnya kopi itu. Bagaimana reaksi-mu 5 detik kemudian itu, yang menyebabkan harimu menjadi buruk. Ini yang mungkin terjadi jika engkau bereaksi dengan cara yang berbeda.

Kopi tumpah di kemejamu. Adikmu sudah siap menangis. Engkau dengan lembut berkata "Tidak apa-apa sayang, lain kali kamu lebih hati-hati ya." Engkau pergi mengganti kemejamu dan dan tidak lupa mengambil tas kerjamu. Engkau kembali dan melihat adikmu sedang naik ke dalam bus sekolah. Istrimu menciummu sebelum engkau berangkat kerja. Engkau tiba di kantor 5 menit lebih awal, dan dengan riang menyalami para karyawan. Atasanmu berkomentar tentang bagaimana baiknya hari ini buatmu.

Lihat perbedaannya. Dua skenario yang berbeda. Keduanya dimulai dari hal yang sama, tapi berakhir dengan berbeda. Kenapa? Karena REAKSI kita. Sungguh kita tidak dapat mengontrol 10 persen hal-hal yang terjadi. Tapi yang 90 persen lagi ditentukan oleh reaksi kita.

published by: Monsieur RaKah @ 12:05:00 AM

Monday, May 24, 2004

s i g h t

Lima Bola

Bayangkan hidup sebagai suatu permainan ketangkasan, kita harus memainkan keseimbangan lima buah bola yang dilempar ke udara. Bola-bola tersebut bernama:

:: Pekerjaan ::
:: Keluarga ::
:: Kesehatan ::
:: Teman ::
:: Spirit (semangat, gairah) ::

Kita harus menjaga agar kelima bola ini seimbang di udara. Kita akan segera mengerti bahwa ternyata pekerjaan hanyalah sebuah bola karet. Jika kita menjatuhkannya maka ia akan dapat memantul kembali. Tetapi empat bola lainnya yaitu Keluarga, Kesehatan, Teman dan Spirit, terbuat dari gelas. Dan jika kita menjatuhkan salah satunya, maka ia akan dapat terluka, tertandai, tergores, rusak atau bahkan hancur berkeping-keping. Dan ingatlah, mereka tidak akan pernah kembali seperti aslinya semula. Kita harus memahami benar dan berusaha keras untuk menyeimbangkannya.

Bagaimana caranya?

1. Jangan rusak nilai kita dengan membandingkannya dengan nilai orang lain. Perbedaan yang ada diciptakan untuk membuat masing-masing diri kita spesial.

2. Jangan menganggap remeh sesuatu yang dekat di hati kita, melekatlah padanya seakan-akan ia adalah bagian yang membuat kita hidup, dan tanpanya, hidup menjadi kurang berarti.

3. Jangan biarkan hidup kita terpuruk di masa lampau atau dalam mimpi masa depan. Satu hari hidup pada suatu waktu berarti hidup untuk seluruh waktu hidupmu.

4. Jangan menyerah ketika masih ada sesuatu yang dapat kita berikan. Tidak ada yang benar-benar kalah sampai kita berhenti berusaha.

5. Janganlah takut mengakui bahwa diri kita tidaklah sempurna. Ketidaksempurnaan inilah yang merupakan sulaman benang rapuh untuk mengikat kita satu sama lain.

6. Jangan takut menghadapi resiko. Anggaplah resiko sebagai kesempatan kita untuk belajar bagaimana menjadi berani.

7. Jangan berusaha untuk mengunci cinta dalam hidupmu dengan berkata "tidak mungkin saya temukan". Cara tercepat untuk mendapatkan cinta adalah dengan memberinya, cara tercepat untuk kehilangan cinta adalah dengan menggenggamnya sekencang mungkin, dan cara terbaik untuk menjaga agar cinta tetap tumbuh adalah dengan memberinya "sayap".

8. Jangan lupa bahwa kebutuhan emosi terbesar dari seseorang adalah kebutuhan untuk merasa dihargai.

9. Jangan takut untuk belajar sesuatu. Ilmu pengetahuan adalah harta karun yang selalu dapat kita bawa kemana pun tanpa membebani.

Dan akhirnya?

MASA LALU adalah SEJARAH
MASA DEPAN merupakan MISTERI
Dan SAAT INI adalah KARUNIA dan PERJUANGAN

published by: Monsieur RaKah @ 11:13:00 AM

Friday, May 21, 2004

s t o r y

Kebahagiaan Diperoleh
dari Memberi

Kisah ini bercerita tentang seorang wanita cantik bergaun mahal yang mengeluh kepada psikiaternya bahwa dia merasa seluruh hidupnya hampa tak berarti. Maka si psikiater memanggil seorang wanita tua penyapu lantai bernama Inah dan berkata kepada si wanita kaya, "Saya akan menyuruh Inah ke sini untuk menceritakan kepada anda bagaimana dia menemukan kebahagiaan. Saya ingin anda mendengarnya."

Si wanita tua meletakkan gagang sapunya dan duduk di kursi dan menceritakan kisahnya: "OK, suamiku meninggal akibat malaria dan tiga bulan kemudian anak tunggalku tewas akibat kecelakaan. Aku tidak punya siapa-siapa. Aku kehilangan segalanya. Aku tidak bisa tidur, tidak bisa makan, aku tidak pernah tersenyum kepada siapapun, bahkan aku berpikir untuk mengakhiri hidupku. Sampai suatu sore seekor anak kucing mengikutiku pulang. Sejenak aku merasa kasihan melihatnya. Cuaca dingin di luar, jadi aku memutuskan membiarkan anak kucing itu masuk ke rumah. Aku memberikannya susu dan dia minum sampai habis. Lalu si anak kucing itu bermanja-manja di kakiku dan untuk pertama kalinya aku tersenyum.

Sesaat kemudian aku berpikir jikalau membantu seekor anak kucing saja bisa membuat aku tersenyum, maka mungkin melakukan sesuatu bagi orang lain akan membuatku bahagia. Maka di kemudian hari aku membawa beberapa biskuit untuk diberikan kepada tetangga yang terbaring sakit di tempat tidur. Tiap hari aku mencoba melakukan sesuatu yang baik kepada setiap orang. Hal itu membuat aku bahagia tatkala melihat orang lain bahagia. Hari ini, aku tak tahu apa ada orang yang bisa tidur dan makan lebih baik dariku. Aku telah menemukan kebahagiaan dengan memberi."

Ketika si wanita kaya mendengarkan hal itu, menangislah dia. Dia memiliki segala sesuatu yang bisa dibeli dengan uang namun dia kehilangan sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan uang.

"Uang bukanlah segalanya, tetapi benarkah segalanya membutuhkan uang?" ;)

published by: Monsieur RaKah @ 5:01:00 PM

Thursday, May 20, 2004

s o n g

Jagalah hati versi Pemilu

Jagalah Hati
Jangan terbuai Janji
Jagalah Hati
Agar Kau Tak Sakit Hati

Jagalah Hati
Jangan Kau Peduli
Jagalah Hati
Agar Kau Tetap Happy

Jagalah Hati
Jangan Suka Berjanji
Jagalah Hati
Jika Ntar Tak Kau Tepati

Jagalah Hati
Berjanji Tak Ditepati
Jagalah Hati
Beban di saat Mati

Jagalah Hati
Saha Oge Hayang Nomer Hiji
Jagalah Hati
Geus Jadi Poho Diri

Jagalah Hati
Hati Harus Dijaga
Jagalah Hati
Hati... Hati... Hati... Hati...

published by: Monsieur RaKah @ 6:28:00 PM

Monday, May 03, 2004

s t o r y

Kepada Perempuanku

Imron Supriyadi
Dikemas 21/12/2003 oleh Editor

Di hutan, akan kutemukan kedamaian dan kejujuran. Di hutan, aku akan temukan kesejukan angin yang bersih dari cerobong pabrik, dan telingaku akan lepas dari bisingnya mesin, atau kasak-kusuk aksi suap menyuap dalam suksesi bupati, walikota dan gubernur. Pagi menjelang fajar, aku sudah berkemas. Jaket, parang, pisau pinggang, minyak, lampu, korek dan sedikit singkong rebus sudah masuk ke dalam ransel. Kuputuskan, pagi itu, aku harus pergi ke hutan. Aku tidak bisa terus menerus hidup dalam perkampungan yang pengap. Suhu udara, suhu politik, dan etika kebudayaan di kampungku tak membuatku lebih tenang dari alam rahim ibuku. Aku harus pergi! "Pagi-pagi buta seperti ini kau akan pergi?", tanya Er yang tiba-tiba sudah ada di hadapanku. Er masih pakai telekung. Ia sepertinya baru saja pulang dari surau. Er adalah salah satu perempuanku dari golongan ningrat yang gagal kunikahi lantaran dulu aku tak mampu membeli kain songket dan membayar maskawin.

"Lebih cepat lebih baik. Sebab, sebentar lagi, orang kampung akan segera berhambur keluar. Dan aku tak mau dipusingkan dengan pertanyaan mereka. Kujelaskan sedetil apapun, mereka juga tidak akan tahu kenapa aku harus pergi ke hutan". E, masih terpaku. "Tetaplah hidup dengan suamimu di sini. Tak ada gunanya kau melarangku pergi". "Lalu, bagaimana dengan aku?", sebuah suara muncul dari arah belakang. Tiba-tiba Tri menyela pembicaraan aku dan Er. Tri adalah perempuan keduaku yang belum sempat kunikahi lantaran sampai tahun ini orangtuanya masih bersikeras untuk menyuap seseorang agar Tri menjadi PNS. Makanya, aku tetap bertahan untuk menolak desakan menikah sebelum Tri mengharamkan suap. "Kau tidak sendirian di sini, Tri. Banyak orang yang akan melindungimu. Masih ada Mang Arman, Mang Bidin, dan Wak Ujang. Semua akan menjagamu".

"Apa keputusanmu sudah bulat, Nak?", ibuku tak mau ketingalan melepas kepergianku. Ibuku adalah perempuan yang kuagungkan di alam raya ini. Sebab, tanpa darah, keringat dan air mata ibu, aku takkan lahir. "Ini sudah menjadi tekadku, Bu," jawabku meyakinkan ketiga perempuan itu. "Tapi, hutan bukan duniamu?!" "Tidak, Tri! Semua milik Tuhan. Dan kita berhak hidup di mana kita suka. Di hutan, akan kutemukan kedamaian dan kejujuran. Di hutan, aku akan temukan kesejukan angin yang bersih dari cerobong pabrik, dan telingaku akan lepas dari bisingnya mesin, atau kasak-kusuk aksi suap menyuap dalam suksesi bupati, walikota dan gubernur".

"Kalau hanya itu alasanmu, kenapa kau mesti ke hutan? Apa ini bukanlah sikap kerdilmu untuk menghindar dari kekalahan?" "Cukup, Tri! Biarkan aku pergi. Jangan seperti orang kampung ini yang tak mau lagi peduli bagaimana menempuh perjalanan panjang untuk satu perubahan." Ketiga perempuan itu hanya terpaku. "Bu, dan kepada kalian berdua, Tri dan Er, aku pergi. Fajar akan segera tiba. Dan katakan pada ayah, aku kan kembali".

Tepat jam lima pagi, aku sudah keluar dari dusun. Aku tidak akan lagi pusing dengan sapaan basa-basi dari orang-orang dusun. Kalau aku terus berjalan, berarti pada sore nanti, aku sudah sampai di hutan, tempat aku akan bercengkerama dengan alam. Matahari mulai memancar dari ujung timur. Embun yang menempel di dedaunan perlahan mengering. Berapa butir peluh sudah membasahi tubuhku. Entah berapa kali, aku harus menyeka keringat yang mengalir dari pinggir kening. Sesaat, aku harus berhenti untuk turun minum.

Pada sebuah lereng aku berhenti. Beberapa potong singkong sudah masuk dalam perut. Beberapa teguk air sudah berhasil mengusir rasa haus yang beberapa jam tertahan. Aku terus melangkah. Tak sesiapa yang kutemui. Sesekali hanya ocehan burung yang terdengar samar. Seekor elang terlihat sedang mengejar induk pipit. Wush! elang berhasil menyambar burung induk pipit. Tak ada perlawanan, karena pipit hanya sendirian. Dan elang pun melenggang puas. Sementara, beberapa ekor pipit di sarangnya pasti masih menunggu induknya pulang dengan membawa makanan. Sayang, anak-anak pipit harus kehilangan induknya hanya lantaran seekor elang yang sewenang-wenang memangsa mahluk yang lemah.

Ada keprihatinan yang tiba-tiba melintas. Serangan elang terhadap induk burung pipit, tak ubahnya seperti kenyataan hidup di kampungku. Kemarin, Mang Likin, seorang abang becak di kampungku, harus menginap di rumah sakit akibat dikeroyok lima oknum polisi karena becaknya tidak memiliki SIM--sesuai dengan Perda Nomor 39 Tahun 2002. Belum sempat sembuh total dari sakitnya, surat tagihan rumah sakit dan denda lima juta rupiah harus ditanggung Mang Likin. Karena tak mampu, terpaksa Mang Likin menebusnya dengan penjara 3 bulan. Istri dan kedua anaknya kini harus mencari hidup sendiri sambil menunggu pembebasan Mang Likin.

Aku kembali melangkah. Matahari sudah ada di atas kepala. Berarti, setengah hari lagi, aku akan segera sampai. Aku akan temukan ketenangan di sana. Crus! crus! beberapa kali aku harus memangkas ranting-ranting pohon. Aku mempercepat langkah, saat di lembah lereng, mataku menatap aliran sungai. Paling tidak, aku bisa segera membasahi badan dan sesaat kemudian aku akan menemukan kesegaran.

Belum lagi aku sempat mencelupkan tangan ke dalam sungai, seekor buaya melintas. Aku melompat. Aku tidak ingin mati konyol hanya gara-gara buaya. Lama aku menunggu buaya itu pergi. Tapi, hampir tiga puluh menit, buaya itu tetap saja ada di situ. Sementara, hari mulai senja. Aku masih bertanya, apa gerangan yang hendak dilakukannya.

Menjelang Magrib, sekelompok rusa muncul dari semak-semak. Mereka bergerombol. Sepertinya mereka hendak minum ke sungai. Aku masih menatap ke arah buaya. Sepertinya, buaya hendak mencari mangsa. Sementara ratusan rusa tak begitu peduli terhadap bahaya yang mengancam. Byur! pyak! pyak! slep! gerakan cepat buaya tak diduga rusa. Seekor rusa harus menjadi korban keganasannya. Ratusan rusa lain terpaku. Tak ada perlawanan. Lagi, sebuah kesewenang-wenangan penguasa air telah memunculkan ketakutan di setiap rusa. Aku juga terpaku. Aku masih berpikir, apakah aku harus berenang menyeberangi sungai atau tetap di lereng ini. Malam mulai menjelang. Suara binatang terdengar bersahut-sahutan. Sementara, mataku sudah berat. Setelah seharian berjalan, aku belum sedetik pun memejamklan mata. Rasa kantuk tak tertahan.

Aku terlelap. Sebuah auman singa membangunkanku dari tidur. Aku cepat-cepat beringkas. Jangan-jangan, singa sudah mengintaiku. Aku masuk dalam semak-semak. Aku masih mengintip dari mana singa itu keluar. Auww! gludug! gludug! auwww! tiba-tiba seekor singa berguling-guling. Kedua kakinya seperti mengorek-ngorek telinganya. Beberapa kali, ia terguling-guling. Ada sesuatu yang sepertinya sedang ditahan dalam telinganya. Hampir dua jam lebih, singa itu terguling-guling tak jauh dari tempatku bersembunyi. Lambat laun, singa melemah. Ia terguling tanpa daya. Sesaat kemudian, ia tak bergerak lagi.

Sementara, burung-burung pemangsa bangkai sudah mengitarinya. Aku coba mendekat. Sebuah luka menganga di lehernya. Sementara, dari dalam telinganya, jutaan semut merah sedang berpesta pora seakan mereka sedang dalam kemenangan. Semut dan burung pemakan bangkai saling berbagi. Si raja hutan itu kini menjadi santapan burung pemakan bangkai, setelah sebelumnya dikeroyok oleh jutaan semut merah. Kenyataan ini jauh berbeda dengan dengan nasib burung pipit, rusa dan Mang Likin yang menyerah begitu saja. Koloni semut kemudian membawaku satu kesimpulan, tak ada kata kalah jika orang-orang di kampungku bersatu melawan para penguasa desa sebagaimana semut membunuh raja hutan.

Hari itu juga aku pulang. Tak ada kata lain, aku harus pulang. Akan kukabarkan kepada orang kampung bahwa semut telah mengajariku untuk melawan. Jangankan elang dan buaya, seekor singa pun mampu mereka kalahkan. Malam pertemuanku dengan tiga perempuanku menjadi bagian kebahagiaan tersendiri setelah dua hari berpisah. Dan, malam itu kukatakan pada para perempuanku. "Ibu, Tri dan kau, Er, sampaikan kepada semua perempuan di desa ini, jangan pernah berhenti untuk sebuah perubahan. Sebab, kekalahan hari ini, bukan akhir dari perjuangan yang akan lebih panjang lagi". "Siapa yang bakal membantu kita?" "Ini," kataku menunjuk pada perut Er yang sebentar lagi melahirkan seorang bayi. Ibu, Tri dan Er terpaku. Ada kata tanya di matanya. "Dari janin-janin yang bersih inilah, bangsa ini akan berubah. Dan, kepada kalian perempuanku, sampaikan pesan ini kepada perempuan lain, janin inilah yang akan tumbuh dewasa, untuk melibas kesewenang-wenangan sebuah otoritas negara".

Sepertiga malam terakhir aku terbangun. Kutemui ibuku dan kedua perempuanku masih berzikir. Tak ada suara lain yang kudengar, kecuali keinginan ibu agar aku segera menikah. Mungkin ibu berharap agar isteriku segera melahirkan jabang bayi. Tunggu saja ibu, aku masih berjuang. **

Demang Lebar Daun-Palembang, 26 Mei 2003

published by: Monsieur RaKah @ 3:29:00 PM

"Tahukah kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari..."
(Pramoedya Ananta Toer)

.: BrainStorming dari KITA, oleh KITA, dan untuk KITA :.

Previous post: Memerdekakan Diri dari Penjajahan Kata-Kata... Empat Sadar... Geopolitik Indonesia Menyongsong 2024... Rudy Habibie dan Rudy Chaerudin, sukses Mana?... k-s-d... sebagian malam di Balai Komando... ungu violet... garam... Cerita Sang Tua... masih hidup...

Archives: October 2003... November 2003... December 2003... January 2004... March 2004... April 2004... May 2004... June 2004... July 2004... August 2004... September 2004... October 2004... December 2004... March 2005... April 2005... June 2005... August 2005... November 2005... November 2008... October 2020... December 2020... August 2021...

 
     
 
  Mardi-k Lab. (contact) 1996-sekarang