<$BlogRSDUrl$>
ini untuk banner blogger
  tempatkita       tempatku  
   
 
     
 

Saturday, October 31, 2020

Geopolitik Indonesia Menyongsong 2024

(Hanya untuk yang suka membaca, tulisan sangat panjang)

Tak ada seorang pun mau disaingi, apalagi si pesaing naik gegara mengambil sesuatu yang sangat berharga yang kemarin adalah milik dan kelebihan mereka yang akan disusul.

Suka tak suka, AS memang tak senang negara kita maju karena tambahan unsur mengambil dari miliknya.

Mungkinkah karena pandemi ini kita berjalan dengan cara lebih benar sehingga tiba-tiba prediksi yang tadinya adalah di tahun 2030 kita baru akan masuk 5 besar, justru pada 2024 kita sudah akan mencapainya?

World Bank dan IMF telah mengeluarkan hasil prediksinya itu, dan kita, Indonesia akan mengeser banyak negara maju seperti Jerman, Perancis, Italia hingga Inggris dalam hal PDB, dan itu akan terjadi pada tahun 2024 nanti bila konsistensi pencapaian kerja kita dapat terus bertahan seperti saat ini.

Sebelumnya, dibawah Jokowi, setelah dia memegang komando selama 4 tahun, pada 2018 banyak negara tetangga terkaget heran bercampur iri sekaligus khawatir.

Indonesia meroket masuk dan menjadi negara dengan PDB di atas 1 triliun dolar, masuk menjadi bagian elit sedikit negara yang berpenghasilan lebih dari 1 triliun dolar.

AS yang sejak perang dunia ke-2 berakhir selalu menjadi terdepan dalam hampir semua hal, kali ini harus mulai bersiap, dia akan digeser oleh China dalam kekayaan.

AS masih akan berada pada urutan nomor 2 pada 2024, namun pada 2050 dia akan semakin jauh. AS diprediksi hanya pada urutan ke 3 di bawah China dan India. Indonesia akan berada pada urutan ke-4 setelah AS.

"Relakah AS?"

Menjadi kaya adalah tentang dominasi dalam banyak hal. Mampu membeli apapun yang tak mungkin dapat dilakukan orang lain. Mampu membuat banyak hal yang bahkan sebelum orang lain sempat berpikir. Intinya, dengan mudah dia akan semakin meninggalkan para pesaingnya dalam segala hal.

Relakah AS akan tersaingi dalam teknologi militer dari China contohnya, tentu tidak. China masih akan butuh waktu lama menyaingi teknologi milik AS. Namun hanya waktu saja yang menjadi pemisahnya. Suatu saat, pasti akan terkejar.

China akan memiliki sisa uang lebih banyak untuk mengejar ketertinggalan itu. China akan lebih unggul, bila itu dibiarkan terjadi. Maka, usaha menghambat, dan bila perlu menghancurkannya sebelum semua terlambat, bukan sesuatu yang mustahil kan?

Demikian pula dengan Indonesia, negara antah berantah bagi banyak orang sebelum tahun 2000-an. Banyak orang di luar sana lebih kenal Bali dan Soekarno dibanding apa dan siapa Indonesia.

"Maksudnya, Indonesia pun akan dibidik dan dihalangi untuk menjadi maju?"

Banyak kepentingan AS terusir dari Indonesia karena Jokowi, bukan dongeng. Bukan pula kenyataan yang mudah diterima begitu saja meski ekspresi senyum AS masih terlihat ramah dengan kalimat santun-nya yang masih terucap.

Lain di bibir lain di hati, demikian pepatah pernah kita dengar.

Siapa tak marah bila pundi-pundi kekayaannya diambil paksa, apalagi gara-gara hal tersebut dia menjadi terkejar dan kemudian tertinggal oleh pesaing terdekatnya.

AS pasti marah dan tak suka dengan cara kita merampas privilege yang telah dinikmatinya selama lebih dari 50 tahun di Indonesia.

Gunung emas di Papua dan kolam minyak di Aceh dua terbesar dari banyak miliknya diambil paksa oleh Jokowi.

Freeport dan Exxon sang raksasa sebagai mesin kapitalis penghasil pundi-pundi kemewahan itu dibongkar dan dipreteli oleh seorang Presiden culun yang tak pernah dianggapnya.

Dulu, untuk mendapatkan itu semua, AS harus mendongkel Soekarno dan meletakkan boneka bernama Soeharto dengan korban jutaan orang dalam rusuh pemberontakan PKI.

Dengan melibatkan CIA, AS dan Soeharto meluluh lantakkan Indonesia hingga bekas luka itu masih sangat terasa hingga kini.

Bahkan hingga hari ini, akibat luka itu kita masih terbelah dan percaya sesuatu yang tidak benar-banar nyata.

Atas jasa mereka, Soeharto dan dibantu oleh Prof. Sadli, Prof. Wijoyo Niti Sastro, dan sejumlah profesor ekonomi lulusan Berkeley University AS mengesahkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967.

Tak berlebihan bila dikatakan mereka sepakat mengkavling-kavling bumi Nusantara dan memberikannya kepada pengusaha-pengusaha AS. Gunung emas di Papua diserahkan kepada Freeport, ladang minyak di Aceh kepada Exxon.

Sejak saat itu, sejarah penjajahan ekonomi dan sumber daya alam kita dimulai. Sekali lagi kita mengalamai masa tak lagi berdaulat atas tanah yang kita pijak sama saat Belanda menjajah bumi Nusantara sebelum 1945.

Kekayaan alam kita dikeruk tanpa kenal apa itu istirahat. 32 tahun berkuasa tanpa gangguan sekaligus usaha menumpuk kekayaan tak pernah kenyang adalah upah bagi Soeharto dan kroninya.

"Trus apa hubungannya dengan AS yang ga rela dengan Jokowi?"

Melihat kegaduhan di dalam negeri tanpa melibatkan kacamata geopolitik, mungkin ibarat pepatah seperti katak dalam tempurung. Kita melihat dan kemudian ngomong hanya dari ruang terbatas.

Kita berdebat rasa panas di dalam rumah dan saling ngotot adu gagasan bagaimana teori pemanasan global dengan segala dalilnya padahal rumah tetangga sebelah sudah beralih fungsi menjadi tempat pemanggangan roti contohnya.

Bukankah perseteruan di antara negara-negara “besar”. China, Rusia hingga Iran dengan AS dan kemudian meluasnya isu komunis hingga Syiah tak mungkin berdiri sendiri?

Bukankah sesama saudara, tiba-tiba kita saling maki dan bahkan sudah saling gebuk demi isu yang sama Komunis dan Syiah?

Kita masih sibuk berdebat betapa anehnya rasa panas tak wajar itu namun tak mau menengok apa yang sedang terjadi di luar sana sebagai pembanding. Kita merasa pintar karena memiliki banyak dalil dan teori.

Pernah dengar Global War On Terrorism atau GWOT? Itu adalah kebijakan baru yang dibuat oleh AS pada saat pemerintahan Bush.

Secara sederhana, GWOT adalah UU yang lahir karena sebab WTC runtuh ditabrak pesawat yang dikendalikan oleh teroris pada 911 dan maka, teori serang dulu sarang teroris sebelum mereka sempat serang tanah AS, perlu dibuat.

Intinya, bisa saja suatu saat isu terorisme yang sengaja dimunculkan, merupakan alat legitimasi AS untuk mengacak-acak suatu negara berdaulat.

Bila suatu negara tidak sesuai dengan garis kebijakan Washington, maka negara tersebut akan dengan mudahnya dicap sebagai negara sponsor terorisme.

Sebagai contoh, tak senang dengan Indonesia, dan lalu ingin serang Indonesia, buat saja seolah Indonesia adalah sebagai sarang teroris, maka UU dan rakyat AS mengijinkan hal itu.

Lihat kejadian di Iraq, Suriah, Yaman, Libya, Bosnia dan banyak kasus di mana AS terlibat dalam perang di luar negaranya. Bukankah selalu tentang terorisme? Dan terorisme selalu terkait agama?

Artinya sangat jelas, jangan beri kesempatan AS menilai negara kita adalah sebagai sarang terorisme.

Isu Syiah vs Suni biasanya adalah tanda paling sederhana. Maka berhati-hatilah ketika isu itu sudah beredar.

Itu adalah awal dari bencana. Itu terjadi di manapun AS terlibat. Ga percaya? Tanya Suriah dan Yaman.

Apakah AS akan dipersalahkan dengan tuduhan intervensi contohnya, sejarah ga ada mencatat yang seperti itu. AS sah berbuat itu karea UU memerintahkannya.

Seandainya menyerang langsung negara yang belum nyata-nyata terbukti dukung terorisme dan AS tak punya alasan menyerang misalnya, membuat UU yang akan memberi sangsi sekaligus embargo telah mereka persiapkan.

Membuat penggolongan Rusia, Iran seolah sponsor terorisme hingga memusuhi China, membuat AS memiliki alasan membuat UU tentang pemberian sangsi bagi siapapun yang berhubungan dengan ketiga negara itu.

Siapapun ngobrol apalagi berhubungan dagang dengan kelompok negara pendukung terorisme adalah 'salah'!! Sangsi atau embargo dengan mudah dibenarkan secara hukum kepada negara itu.

Masih ga percaya? Tanya pak Menhan dah..!! Haii.. pak Menhan.., berasa kan galaknya paklik Sam? 😁

Ingat rencana pembelian jet tempur SU 35 kita ke Rusia? AS mengancam akan menjatuhkan sanksi terhadap Indonesia, bila tetap membeli perlengkapan militer dari Rusia.

Dan anehnya, tanpa malu AS menawarkan F 16 dan namun menolak ketika kita minta F 35 bukan?

Countering America's Adversaries Through Sanctions Act atau CAATSA dibuat khusus untuk tujuan seperti ini.

Secara sederhana, CAATSA adalah alat legitimasi bagi AS untuk menghukum siapapun yang berhubungan dengan China. Rusia dan Iran. Sadis??

"Adakah tanda-tanda bahwa Indonesia sedang dibidik?"

Indonesia yang berjalan pada track benar di bawah kepemimpinan Jokowi memang telah membuat banyak negara terhenyak kagum. Menjadi negara dengan GDP terbesar no 5 dunia pada 2024, seharusnya bukan sekedar rasa bangga kita bersorak. Was-was dan hati-hati, dan terutama persatuan kita sebagai bangsa kita pererat, adalah kemutlakan yang harus menjadi arah kemana kita melangkah.

Ramai isu PKI dan Syiah seharusnya cukup bagi kita paham, bahwa ada kekuatan asing sedang ingin bermain. Bukan istilah paranoid kita perdebatkan, namun contoh dari banyak kejadian di luar sana sungguh berbicara demikian.

Membuat sesama anak bangsa bertengkar demi perbedaan digaungkan, telah membuat banyak tenaga kita terbuang percuma. Sia-sia kita berteriak bahkan seandainya tangan pun terlibat, perbedaan tak akan menjadi indah justru ketika dibuat serupa.

Perbedaan itulah yang kini sedang dijadikan titik lemah kita. Mereka yang melihat peluang itu tahu apa yang harus mereka lakukan. Mempertajam dan kemudian mengirim pasokan bagi apa kebutuhan itu agar semakin tajam dengan senang hati pasti dilakukan.

Belum lama ini, AS serta merta menolak usulan Indonesia sebagai Presiden Dewan Keamanan tak tetap PBB. AS memveto rancangan resolusi yang digagas Indonesia terkait “penuntutan, rehabilitasi, dan reintegrasi (PRR) teroris”.

Indonesia sebagai pimpinan tidak tetap Dewan Keamanan PBB menginginkan adanya perlakuan yang fair terhadap eks kombatan ISIS dengan cara dituntut, direhabilitasi dan kemudian adanya reintegrasi.

Jawaban AS sederhana dan lugas, "Jemput dan bawa pulang eks kombatan ISIS ke negara dimana dulu dia berasal". Ga nurut, veto! Gitu aja koq repot.

AS keberatan bila eks ISIS itu harus dituntut, direhabilitasi dan kemudian direintegrasi di Suriah.

Ya, di sini tampak dengan jelas bagaimana kerangka berpikir AS. AS ingin para kombatan eks ISIS berkarya di negara asal. AS ingin Indonesia menjemput pulang eks ISIS asal Indonesia.

Siapa di belakang ISIS, semua mahfum. Ada jejak tak dapat ditolak AS atas Al qaeda dan kemudian untuk apa ISIS dibangun. Kini setelah kalah, mereka merasa rugi bila harus dibuat nganggur.

Militan yang telah tercuci otaknya itu selalu berguna bagi terpecahnya sebuah negara yang mereka bidik.

Sangat mudah kita bayangkan bila mereka pulang. Isu Komunis dan Syiah yang ditabur siapapun, akan langsung membakar negara kita tanpa ada peluang bagaimana membuat padam.

Sementara, kita semua paham bagaimana kondisi negara kita saat ini. Tindakan provokatif dipamerkan mereka para kaum intoleran yang entah datang karena apa hanya demi panas suasana kehidupan berbangsa dan bernegara sejak Jokowi menjabat Presiden.

Ada tendensi bahwa hal itu memang disengaja demi rusuh suasana akibat segala kebijakan Presiden yang satu itu. Kebijakannya telah membuat banyak pihak terancam dan namun secara pengecut mereka tak berani menunjukkan diri.

Selalu tentang rakyat yang seolah tak setuju dengan Presiden. Selalu memakai rakyat tak terdidik menjadi tameng.

Seharusnya, kita aware atas udang di balik batu pemaksaan memanggil pulang eks WNI mantan ISIS oleh AS.

"Waduuhh, harus hati-hati dong sama AS ya?"

Menuduh pemerintah AS ada di balik semua ini, jelas ngawur. Sebagai negara, AS adalah negara utama penyokong demokrasi. Di sana HAM menjadi garda terdepan bagi kehidupan yang lebih baik. AS adalah negara utama dan terdepan dalam memerangi banyak ketimpangan yang terjadi di dunia. AS sebagai negara, tidak mungkin melakukan kejahatan seperti itu.

Bahwa ada kepentingan para kapitalis di balik kebijakan AS, itu cerita berbeda dan pasti akan disangkal.

Sama dengan kita dan pasangan kita. Melirik, menggoda dan kemudian melacurkan suci ikatan pernikahan kita demi seseorang yang kita anggap lebih OK, adalah awal kehancuran rumah tangga.

Genit kita kepada orang lain demi rasa tak puas terhadap pasangan kita bukan tentang pihak luar yang kemudian mendekati kita yang bersalah. Kitalah sumber masalahnya.

Melacurkan diri dengan rela menjadi budak asing karena tak puas dengan pemerintah sah dan kemudian mendapat bantuan demi kekuasaan, bukan tentang siapa asing harus kita hajar, kitalah sumber ketamakan itu.

Soeharto benar pernah mendapat bantuan AS demi menumbangkan Soekarno, namun bukan berarti AS adalah penjahat yang harus kita hancurkan. Di sana kesungguhan kita sebagai insan pertiwi yang lahir di bumi Indonesia ini justru yang diminta untuk mengerti siapa seharusnya kita.

Siapapun di luar sana, selalu tentang untung dan rugi. Bukan hanya AS, negara manapun akan membuka tangan lebar-lebar bagi para calon sekutunya sepanjang itu menguntungkan.

Bahwa hari ini AS akan membuka tangan lebar-lebar bagi para pengkhianat bangsa, tak dapat dipungkiri. Mereka akan bertanya, "Apa yang kami dapat? Freeport? Morowali? Atau apa yang pantas. Sebutkan..!!"

Sementara semua sedang didiskusikan, penyusupan dilakukan.

Bahwa kekerasan agama yang dimulai dari isu tolak Komunis dan Syiah seolah identik dengan cara-cara AS, tetap saja itu bukan salah AS.

Salah kita bermental pengecut dan khianat meski berbaju demi ini dan demi itu seolah niat baik layak ditukar dengan semua kebusukan itu dan kemudian mengundang simpati AS terlibat contohnya.

China, India, dan Indonesia mungkin akan terus dihalangi dan diganggu sebagai calon peringkat 1, 3 dan 5 dunia pada 2024 nanti dengan banyak cara agar tak merebut posisi mereka yang saat ini masih bertengger sebagai juara.

Apapun akan mereka lakukan demi menjadi nomor urut 1 negara terhebat di planet ini.

Menjadikan Indonesia jaya, bukan tentang memusuhi dan menghajar mereka yang akan mengganggu kita, ini tentang ke-Indonesia-an kita yang sedang diuji.

Benar adanya, jalan pintas lebih mudah, namun keindahan adalah tentang proses. Berpolitiklah secara benar karena hakikat kita berpolitik dan berkuasa adalah tentang menjadi seorang pemimpin demi rakyat banyak dan Indonesia jaya. Bukan yang lain-lain.

Mengorbankan rakyat, meski hanya satu dari 270 juta yang ada, itu sudah salah, apalagi mengorbankan jutaan nyawa. Itu pernah terjadi dan sampai hari ini kita masih trauma.

Dan ingat, di luar sana ada negara yang sedang galau dan namun memiliki undang-undang yang dengan mudah akan melakukan intervensi bila kita terkesan mengundangnya.

Dia akan mudah menggunakan Countering America's Adversaries Through Sanctions Act atau CAATSA dan meng-embargo kita ketika kita salah gaul dengan China atau Rusia.

Dia akan mudah intervensi bahkan pasukannya masuk dengan alasan Keamanan Nasional-nya yang terganggu oleh teroris dan dengan alasan memiliki hukum sebagai perintah dari UU yang harus dijalankan yakni Global War On Terrorism.

Dapatkah kita ngeyel? Seharusnya dapat. Dan hanya dengan satu cara, jangan beri peluang dan alasan, apalagi mengundangnya.

Indonesia adalah tentang saya, anda tanpa embel-embel eksklusif Jawa hingga Papua, Islam hingga Hindu, atau apapun tentang latar belakang kita. Kita satu Indonesia yang tak seharusnya kita tawar lagi meski langit harus runtuh. Dah gitu aja...!!

Ya, mari kita bersepakat menjadikan Indonesia yang maju seperti seharusnya tanpa sekat dan kotak-kotak perlu dibangun. Siapa pun kita, jawabannya adalah Indonesia.

RAHAYU
Karto Bugel

Labels: , ,

published by: Monsieur RaKah @ 10:20:00 AM

"Tahukah kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari..."
(Pramoedya Ananta Toer)

.: BrainStorming dari KITA, oleh KITA, dan untuk KITA :.

Previous post: Rudy Habibie dan Rudy Chaerudin, sukses Mana?... k-s-d... sebagian malam di Balai Komando... ungu violet... garam... Cerita Sang Tua... masih hidup... Mengenali Tanda-Tanda Kematangan Diri... flight... s m i l e...

 
     
 
  Mardi-k Lab. (contact) 1996-sekarang