<$BlogRSDUrl$>
ini untuk banner blogger
  tempatkita       tempatku  
   
 
     
 

Tuesday, August 24, 2004

Penjualan Buku di Sekolah

Wah wah wah, begitu banyak hal memalukan terjadi di negeri ini. Berikut cuplikan diskusi, diambil dari milis pasarbuku[at]yahoogroups.cOm yg kelihatannya diposting oleh orang2 yg masih peduli dg kejujuran, itikad baik, dan menjunjung idelisme yg luhur. Semoga ada manfaat, hikmah yg bisa dipetik. Selamat membaca (jika sempat), semoga keselamatan dan kemanfaatan selalu bersama kita :)

Mula Harahap <mulaharahap@yahoo.com> wrote:

I. Dalam 2 minggu terakhir ini media massa diramaikan oleh berita-berita skandal penjualan buku pelajaran --secara paksa--oleh sekolah kepada murid.

Orangtua murid mengeluh karena --di tengah himpitan beban ekonomi seperti sekarang ini-- mereka masih pula harus membeli paket yang terdiri dari beberapa buku dengan harga jauh lebih tinggi dari "price list" yang diberlakukan penerbit. Orangtua murid mengeluh karena buku-buku untuk mata pelajaran yang sama, yang semester lalu dibelinya untuk sang kakak, sudah tidak dapat lagi digunakan bagi sang adik. Orangtua murid juga mengeluh, karena begitu banyaknya buku yang harus dibeli untuk seorang anak yang masih duduk di bangku kelas 1 Sekolah Dasar.

Hari Jumat 6 Agustus 2004 yang lalu, di Harian Kedaulatan Rakyat ada berita tentang seorang petani di Gunung Kidul yang juga mengeluh karena dipaksa membeli sejumlah buku pelajaran dengan harga per buku sekitar Rp. 25.000, sementara harga gaplek masih Rp.250 per kilo. Untuk membeli sebuah buku, berarti sang petani harus menjual 100 kilo gaplek. Untuk membeli 5 buku berarti ia harus menjual 500 kilo gaplek! Lalu berapa kilo singkong basah yang harus dikuliti, dirajang dan dijemurnya agar bisa mendapat 1/2 ton gaplek? (Seharusnya di Yogyakarta sana ada yang mau menemani si petani, untuk menumpahkan 1/2 ton gaplek itu di depan kantor Kepala Sekolah atau Kepala Dinas Pendidikan).

Kita sudah tidak tahu lagi siapa yang harus paling disalahkan dalam komersialisasi pendidikan yang gila-gilaan ini. (Dan jangan kita lupa, masalah penjualan buku di sekolah hanyalah salah satu dari sekian banyak persoalan pendidikan yang tujuannya hanyalah uang).

Ibu/Bapak Guru "Pahlawan Tanda Jasa" itu memang salah. Tugas mereka di sekolah adalah mengajar; bukan berdagang. Tapi kalau jenderal, hakim, jaksa, polisi, petugas bea cukai, petugas pajak, anggota DPR, wartawan, satpam, hansip dan siapa pun itu, boleh berdagang dan mengkomersilkan jabatannya, mengapa guru tidak?

Lagipula, tidak semua wilayah memiliki toko buku. Apa salahnya kalau harga buku dinaikkan "sedikit" sebagai kompensasi atas waktu dan biaya yang dikeluarkan oleh orangtua ketimbang harus mencari buku tersebut kemana-mana?

Para penerbit anggota IKAPI yang umumnya mengusung slogan "ikut mencerdaskan bangsa" itu, juga salah. Seharusnya mereka bisa sedikit menahan diri dan tak perlu menjahitkan baju safari, memberikan dispenser, mensponsori tur ke Bali atau memberikan amplop uang kepada para kepala sekolah dan pejabat pendidikan dari tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi sampai nasional itu.

Tapi apa mau dikata? Mesin yang bernama industri penerbitan buku sekolah itu memang sudah terjebak dalam satu permainan dimana uang dan kekuasaan adalah satu-satunya aturan yang berlaku. Siapa yang tidak ikut dalam aturan permainan akan tersingkir.

Mereka --para penerbit itu-- sebenarnya tidak "happy" dengan peraturan yang gonta-ganti. Setiap kali terjadi perubahan peraturan, ada ratusan ribu atau jutaan eksemplar buku yang terpaksa harus dibuang. Agar tidak selalu "buntung" maka para penerbit pun belajar untuk melihat gelagat dan mencium arah angin. Karena itu jangan terlalu salahkan mereka, kalau "Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)" baru merupakan wacana (dan SK Menteri atas kurikulum tersebut belum ada), tapi mereka sudah buru-buru menyesuaikan bukunya dengan KBK.

Adalah kenyataan bahwa buku yang sama, di suatu daerah harus disesuaikan dengan KBK, dan di daerah yang lain belum perlu disesuaikan.

Lalu mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Karena pemahaman dan penafsiran para birokrat daerah itu terhadap keputusan atasannya di pusat berbeda-beda. Dan pemahaman serta penafsiran yang berbeda-beda ini semakin diperparah lagi oleh masuknya kepentingan-kepentingan pribadi para pejabat dalam bisnis buku sekolah.

Pemerintah --terutama para birokrat yang mengurusi masalah pendidikan itu-- juga salah. Seharusnya mereka sadar bahwa sebagai pemerintah tugas mereka adalah mengatur dan menciptakan iklim; bukan ikut bermain. Tapi kalau birokrat di bidang-bidang lain boleh bermain; mengapa pula birokrat di bidang pendidikan tidak boleh bermain? Apalagi --jangan kita lupa-- kalau anggaran pendidikan mencapai 25% dari APBN sebagaimana yang digariskan oleh konstitusi, maka ini adalah sebuah sektor yang paling "basah" dan "sangat menjanjikan".

Komite Sekolah sebagai "legislatif" di unit sekolah juga salah. Seharusnya mereka bisa mengontrol Kepala Sekolah agar tidak "ugal-ugalan" dan bertindak-semaunya. Komite Sekolah sebenarnya adalah manifestasi kepedulian dan tanggung jawab masyarakat (stakeholder) terhadap sekolah yang ada di sekitarnya. Tapi apa mau dikata? Civil-society, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat hanyalah sebuah slogan yang enak diucapkan; tapi tak mudah dijalankan. Di zaman serba dibayar seperti sekarang ini, siapa pula mau kerja-bakti menghabiskan waktu untuk duduk mengurusi Komite Sekolah?

Walhasil, yang patut untuk paling disalahkan dalam skandal penjualan buku di sekolah ini adalah kita --orangtua murid sendiri. Mengapa kita --walau pun mengomel-- tetap juga membeli buku yang ditawarkan itu? Mengapa kita tidak melawan? Kita takut, kalau gara-gara tidak membeli buku yang ditawarkan oleh Ibu/Bapak Guru itu, bisa-bisa anak kita akan menjadi bulan-bulanan dan mendapat nilai rendah dalam mata pelajaran tertentu.

Inilah egoisme sekaligus kebodohan yang sedang merasuki semua kita: Terserah, mau jadi apa negara, yang penting saya selamat. Terserah mau jadi apa pendidikan, yang penting anak saya berhasil. Lalu kita jadi bertanya-tanya: Apa artinya "negara", "selamat", "pendidikan" dan "berhasil" dalam budaya yang penuh intimidasi dan korup seperti yang sedang kita alami ini?

Inilah gambaran kita; masyarakat yang egois, bodoh dan penakut. Ketika petugas di loket PLN itu "membulatkan" uang kembalian pembayaran listrik ke bawah dan menjadi satuan ribu, kita diam. Ketika kasir di supermarket memberikan kembalian permen alih-alih uang receh 25 rupiah, kita diam. Ketika petugas di kantor pengurusan SIM menjual pinsil, penghapus dan segala macam tetek-bengek itu, kita diam. Ketika Provost datang menagih iuran televisi ke rumah, kita diam.

II. Masalah penjualan buku di sekolah adalah masalah korupsi. Dan sikap kita dalam menghadapi masalah tersebut adalah juga sikap kita dalam menghadapi budaya korupsi yang merajalela di negeri ini. Kita bisa berdiam diri atau melawannya. Memang, dalam upaya melawan, kita tidak bisa terlalu mengandalkan para polisi, jaksa dan hakim itu. Lihatlah apa yang mereka lakukan dalam menangani kasus pembobolan BNI, penyeludupan gula dan kasus-kasus besar lainnya. Mereka seperti sedang bermain "sepakbola gajah". Pura-pura bermain cantik, tapi sebenarnya sedang mengatur skor.

Kita juga tidak bisa terlalu mengandalkan pers yang hanya tahu "ngomong" itu. Lagipula, terlalu banyak masalah yang perlu diomongkan oleh pers. Setelah skandal evaluasi nasional, datang skandal konversi nilai. Setelah skandal pembobolan BNI, datang skandal penyelundupan gula. Satu demi satu skandal muncul untuk kemudian cepat-cepat dilupakan.

Kita juga tidak bisa terlalu mengandalkan KPK. Seperti halnya komisi-komisi pemberantasan korupsi sebelumnya, hasil bentukan pemerintah dan DPR yang juga korup, maka KPK tak ubahnya seperti "dildo": Bentuknya bagus tapi substansinya diragukan.

Kita --masyarakatlah-- yang harus turun dan melawan, secara sendiri-sendiri mau pun bersama-sama. Dan melawan korupsi harus dimulai dari lingkungan sekitar.

Kalau bisa membeli buku dengan harga lebih murah di tempat lain; mengapa pula harus membelinya di sekolah? Boleh jadi, gara-gara kita menolak membeli buku di sekolah, anak akan menjadi korban. Tapi kalau hal ini sampai terjadi, maka akan tambah cukup alasan bagi kita untuk bertindak lebih jauh. Guru seperti itu perlu disingkirkan. Moralitas apalagi yang hendak dibaginya kepada anak didik?

Kalau kita punya waktu dan mau bersabar; mengapa pula harus menyalami petugas di loket pembuatan paspor-kir --SIM-- STNK itu dengan uang 5 ribuan untuk setiap tandatangan? Memang kehilangan 50 ribu atau 100 ribu tidaklah terlalu berarti bila dibandingkan dengan "stress" yang kita alami ketika menunggu para abdi negara itu bekerja. Tapi marilah kita melihat dari perspektif yang lain: Betapa mudahnya ia memperoleh uang tambahan untuk pekerjaan yang sebenarnya sudah menjadi tanggung-jawabnya.

Kalau kita mau sedikit membuang waktu, ngotot dan melawan, maka penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan pasti tidak akan sesemarak seperti sekarang. Dan untuk menghadapi penyalah-gunaan wewenang dan kekuasaan, tidak ada kata lain yang lebih tepat daripada: Lawan!

Bulan Mei tahun 1998, perlawanan itu pernah kita perlihatkan dan "The Mighty" Suharto pun takut dibuatnya. Lalu, mengapa pula keberanian dan rasa percaya diri itu tak kita pelihara terus dalam melawan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang semakin menjadi-jadi ini?

NETIKET DAPAT DILIHAT DI SINI

From: Icha Antbony <ichaantbony@yahoo.com>
Sent: Friday, August 13, 2004 8:34 AM
To: pasarbuku@yahoogroups.com
Subject: Re: [PasarBuku] Penjualan Buku di Sekolah

Agar KORUPSI BUKU seperti yang ditulis Mula Harahap dapat ditekan, saya mengusulkan langkah-langkah kongkret:

1. IKAPI diubah pengertiannya menjadi Ikatan Penerbit Buku Indonesia.Bukan Ikatan Penerbit Buku INPRES. Ini berarti IKAPI wajib mengeluarkan anggotanya yang melakukan perdagangan buku langsung ke sekolah secara tidak jujur. IKAPI sendiri wajib membersihkan para pengurusnya yang melulu hanya menerbitkan buku-buku pelajaran dengan tujuan dijual langsung ke sekolah dengan cara-cara yang tidak jujur.

2. GATBI (Gabungan Toko Buku Indonesia) memberikan selebaran ke sekolah-sekolah yang isinya menghimbau agar orang tua murid membeli buku langsung ke toko buku dan menolak pembelian buku paket di sekolah-sekolah.

3. Toko Buku yang berdekatan dengan sekolah-sekolah mengeluarkan selebaran yang isinya menjual buku-buku sesuai yang diminta sekolah yang bersangkutan dengan discount 20 - 25%. Toko buku tidak akan rugi karena mendapatkan discount 30 - 35% dari penerbit. Sisa discount dapat dipakai untuk mencetak selebaran.

4. Pengarang Lepas mencabut izin penerbitan buku-bukunya apabila diketahui buku-buku yang dikarangnya dijual langsung ke sekolah oleh para penerbitnya. Pengarang Karyawan yang bekerja pada suatu penerbit untuk menulis buku pelajaran bersedia "resign" apabila penerbitnya menjual buku langsung ke sekolah.

Menurut saya langkah ini jauh lebih kongkrit ketimbang mengharapkan peran serta pemerintah untuk mengatasi kasus korupsi diperbukuan. Tidak pernah ada sejarah pemerintah mampu memberantas korupsi yang sudah dapat taraf Mass Corruption. Pertanyaan lebih lanjut, beranikah organisasi-organisasi di atas melakukan pembersihan diri dan melakukan perlawanan terhadap kesemrawutan perdagangan buku di negara ini?

published by: Monsieur RaKah @ 2:28:00 PM

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

"Tahukah kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari..."
(Pramoedya Ananta Toer)

.: BrainStorming dari KITA, oleh KITA, dan untuk KITA :.

Previous post: Belanja Di Toko Kebahagiaan... puisi kemerdekaan... Mami, sex itu apa sih?... Mengapa Berteriak?... Life and Career... info kesehatan... mengelola karier... Tujuh Prinsip Entrepreneur Sukses... p o e m... pribadi disukai...

 
     
 
  Mardi-k Lab. (contact) 1996-sekarang