Wah wah wah, begitu banyak hal memalukan terjadi di negeri ini. Berikut
cuplikan diskusi, diambil dari milis pasarbuku[at]yahoogroups.cOm
yg kelihatannya diposting oleh orang2 yg masih peduli dg kejujuran,
itikad baik, dan menjunjung idelisme yg luhur. Semoga ada manfaat,
hikmah yg bisa dipetik. Selamat membaca (jika sempat), semoga
keselamatan dan kemanfaatan selalu bersama kita :)
Mula Harahap <mulaharahap@yahoo.com>
wrote:
I. Dalam 2 minggu terakhir ini media
massa diramaikan oleh berita-berita skandal penjualan buku pelajaran
--secara paksa--oleh sekolah kepada murid.
Orangtua
murid mengeluh karena --di tengah himpitan beban ekonomi seperti
sekarang ini-- mereka masih pula harus membeli paket yang terdiri dari
beberapa buku dengan harga jauh lebih tinggi dari "price list" yang
diberlakukan penerbit. Orangtua murid mengeluh karena buku-buku untuk
mata pelajaran yang sama, yang semester lalu dibelinya untuk sang kakak,
sudah tidak dapat lagi digunakan bagi sang adik.
Orangtua murid juga mengeluh, karena begitu banyaknya buku yang harus
dibeli untuk seorang anak yang masih duduk di bangku kelas 1 Sekolah
Dasar.
Hari Jumat 6 Agustus 2004 yang lalu, di
Harian Kedaulatan Rakyat ada berita tentang seorang petani di Gunung
Kidul yang juga mengeluh karena dipaksa membeli sejumlah buku pelajaran
dengan harga per buku sekitar Rp. 25.000, sementara harga gaplek masih
Rp.250 per kilo. Untuk membeli sebuah buku, berarti sang petani harus
menjual 100 kilo gaplek. Untuk membeli 5 buku berarti ia harus menjual
500 kilo gaplek! Lalu berapa kilo singkong basah yang harus dikuliti,
dirajang dan dijemurnya agar bisa mendapat 1/2 ton gaplek? (Seharusnya
di Yogyakarta sana ada yang mau menemani si petani, untuk menumpahkan
1/2 ton gaplek itu di depan kantor Kepala Sekolah atau Kepala Dinas
Pendidikan).
Kita sudah tidak tahu lagi siapa yang
harus paling disalahkan dalam komersialisasi pendidikan yang gila-gilaan
ini. (Dan jangan kita lupa, masalah penjualan buku di sekolah hanyalah
salah satu dari sekian banyak persoalan pendidikan yang tujuannya
hanyalah uang).
Ibu/Bapak Guru "Pahlawan Tanda
Jasa" itu memang salah. Tugas mereka di sekolah adalah mengajar; bukan
berdagang. Tapi kalau jenderal, hakim, jaksa, polisi, petugas bea cukai,
petugas pajak, anggota DPR, wartawan, satpam, hansip dan siapa pun itu,
boleh berdagang dan mengkomersilkan jabatannya, mengapa guru tidak?
Lagipula, tidak semua wilayah memiliki toko buku. Apa
salahnya kalau harga buku dinaikkan "sedikit" sebagai kompensasi atas
waktu dan biaya yang dikeluarkan oleh orangtua ketimbang harus mencari
buku tersebut kemana-mana?
Para penerbit anggota
IKAPI yang umumnya mengusung slogan "ikut mencerdaskan bangsa" itu, juga
salah. Seharusnya mereka bisa sedikit menahan diri dan tak perlu
menjahitkan baju safari, memberikan dispenser, mensponsori tur ke Bali
atau memberikan amplop uang kepada para kepala sekolah dan pejabat
pendidikan dari tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi sampai nasional
itu.
Tapi apa mau dikata? Mesin yang bernama
industri penerbitan buku sekolah itu memang sudah terjebak dalam satu
permainan dimana uang dan kekuasaan adalah satu-satunya aturan yang
berlaku. Siapa yang tidak ikut dalam aturan permainan akan
tersingkir.
Mereka --para penerbit itu--
sebenarnya tidak "happy" dengan peraturan yang gonta-ganti. Setiap kali
terjadi perubahan peraturan, ada ratusan ribu atau jutaan eksemplar buku
yang terpaksa harus dibuang. Agar tidak selalu "buntung" maka para
penerbit pun belajar untuk melihat gelagat dan mencium arah angin.
Karena itu jangan terlalu salahkan mereka, kalau "Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK)" baru merupakan wacana (dan SK Menteri atas kurikulum
tersebut belum ada), tapi mereka sudah buru-buru menyesuaikan bukunya
dengan KBK.
Adalah kenyataan bahwa buku yang sama,
di suatu daerah harus disesuaikan dengan KBK, dan di daerah yang lain
belum perlu disesuaikan.
Lalu mengapa hal seperti
ini bisa terjadi? Karena pemahaman dan penafsiran para birokrat daerah
itu terhadap keputusan atasannya di pusat berbeda-beda. Dan pemahaman
serta penafsiran yang berbeda-beda ini semakin diperparah lagi oleh
masuknya kepentingan-kepentingan pribadi para pejabat dalam bisnis buku
sekolah.
Pemerintah --terutama para birokrat yang
mengurusi masalah pendidikan
itu-- juga salah. Seharusnya mereka sadar bahwa sebagai pemerintah tugas
mereka adalah mengatur dan menciptakan iklim; bukan ikut bermain. Tapi
kalau birokrat di bidang-bidang lain boleh bermain; mengapa pula
birokrat di bidang pendidikan tidak boleh bermain? Apalagi --jangan kita
lupa-- kalau anggaran pendidikan mencapai 25% dari APBN sebagaimana yang
digariskan oleh konstitusi, maka ini adalah sebuah sektor yang paling
"basah" dan "sangat menjanjikan".
Komite Sekolah
sebagai "legislatif" di unit sekolah juga salah.
Seharusnya mereka bisa mengontrol Kepala Sekolah agar tidak
"ugal-ugalan" dan bertindak-semaunya. Komite Sekolah sebenarnya adalah
manifestasi kepedulian dan tanggung jawab masyarakat (stakeholder)
terhadap sekolah yang ada di sekitarnya. Tapi apa mau dikata?
Civil-society, demokratisasi dan
pemberdayaan masyarakat hanyalah sebuah slogan yang enak diucapkan; tapi
tak mudah dijalankan. Di zaman serba dibayar seperti sekarang ini, siapa
pula mau kerja-bakti menghabiskan waktu untuk duduk mengurusi Komite
Sekolah?
Walhasil, yang patut untuk paling
disalahkan dalam skandal penjualan buku di sekolah ini adalah kita
--orangtua murid sendiri. Mengapa kita --walau pun mengomel-- tetap juga
membeli buku yang ditawarkan itu?
Mengapa kita tidak melawan? Kita takut, kalau gara-gara tidak membeli
buku yang ditawarkan oleh Ibu/Bapak Guru itu, bisa-bisa anak kita akan
menjadi bulan-bulanan dan mendapat nilai rendah dalam mata pelajaran
tertentu.
Inilah egoisme sekaligus kebodohan yang
sedang merasuki semua kita:
Terserah, mau jadi apa negara, yang penting saya selamat. Terserah mau
jadi apa pendidikan, yang penting anak saya berhasil. Lalu kita jadi
bertanya-tanya: Apa artinya "negara", "selamat", "pendidikan" dan
"berhasil" dalam budaya yang penuh intimidasi dan korup seperti yang
sedang kita alami ini?
Inilah gambaran kita;
masyarakat yang egois, bodoh dan penakut. Ketika petugas di loket PLN
itu "membulatkan" uang kembalian pembayaran listrik ke bawah dan menjadi
satuan ribu, kita diam. Ketika kasir di supermarket memberikan kembalian
permen alih-alih uang receh 25 rupiah, kita diam.
Ketika petugas di kantor pengurusan SIM menjual pinsil, penghapus dan
segala macam tetek-bengek itu, kita diam. Ketika Provost datang menagih
iuran televisi ke rumah, kita diam.
II. Masalah
penjualan buku di sekolah adalah masalah korupsi. Dan sikap kita dalam
menghadapi masalah tersebut adalah juga sikap kita dalam menghadapi
budaya korupsi yang merajalela di negeri ini. Kita bisa berdiam diri
atau melawannya. Memang, dalam upaya melawan, kita tidak bisa terlalu
mengandalkan para polisi, jaksa dan hakim itu. Lihatlah apa yang mereka
lakukan dalam menangani kasus pembobolan BNI, penyeludupan gula dan
kasus-kasus besar lainnya. Mereka seperti sedang bermain "sepakbola
gajah". Pura-pura bermain cantik, tapi sebenarnya sedang mengatur
skor.
Kita juga tidak bisa terlalu mengandalkan
pers yang hanya tahu "ngomong"
itu. Lagipula, terlalu banyak masalah yang perlu diomongkan oleh pers.
Setelah skandal evaluasi nasional, datang skandal konversi nilai.
Setelah skandal pembobolan BNI, datang skandal penyelundupan gula. Satu
demi satu skandal muncul untuk kemudian cepat-cepat dilupakan.
Kita juga tidak bisa terlalu mengandalkan KPK. Seperti
halnya komisi-komisi pemberantasan korupsi sebelumnya, hasil bentukan
pemerintah dan DPR yang juga korup, maka KPK tak ubahnya seperti
"dildo": Bentuknya bagus tapi substansinya diragukan.
Kita --masyarakatlah-- yang harus turun dan melawan,
secara sendiri-sendiri mau pun bersama-sama. Dan melawan korupsi harus
dimulai dari lingkungan sekitar.
Kalau bisa
membeli buku dengan harga lebih murah di tempat lain; mengapa pula harus
membelinya di sekolah? Boleh jadi, gara-gara kita menolak membeli buku
di sekolah, anak akan menjadi korban. Tapi kalau hal ini sampai terjadi,
maka akan tambah cukup alasan bagi kita untuk bertindak lebih jauh. Guru
seperti itu perlu disingkirkan. Moralitas apalagi yang hendak dibaginya
kepada anak didik?
Kalau kita punya waktu dan mau
bersabar; mengapa pula harus menyalami petugas di loket pembuatan
paspor-kir --SIM-- STNK itu dengan uang 5 ribuan untuk setiap
tandatangan? Memang kehilangan 50 ribu atau 100 ribu tidaklah terlalu
berarti bila dibandingkan dengan "stress" yang kita alami ketika
menunggu para abdi negara itu bekerja. Tapi marilah kita melihat dari
perspektif yang lain: Betapa mudahnya ia memperoleh uang tambahan untuk
pekerjaan yang sebenarnya sudah menjadi tanggung-jawabnya.
Kalau kita mau sedikit membuang waktu, ngotot dan
melawan, maka penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan pasti tidak akan
sesemarak seperti sekarang. Dan untuk menghadapi penyalah-gunaan
wewenang dan kekuasaan, tidak ada kata lain yang lebih tepat daripada:
Lawan!
Bulan Mei tahun 1998, perlawanan itu pernah
kita perlihatkan dan "The Mighty" Suharto pun takut dibuatnya. Lalu,
mengapa pula keberanian dan rasa percaya diri itu tak kita pelihara
terus dalam melawan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang semakin
menjadi-jadi ini?
NETIKET DAPAT
DILIHAT DI SINI
From: Icha Antbony <ichaantbony@yahoo.com>
Sent: Friday, August 13, 2004 8:34 AM
To: pasarbuku@yahoogroups.com
Subject: Re: [PasarBuku] Penjualan Buku di Sekolah
Agar KORUPSI BUKU seperti yang ditulis Mula Harahap dapat ditekan, saya
mengusulkan langkah-langkah kongkret:
1. IKAPI
diubah pengertiannya menjadi Ikatan Penerbit Buku Indonesia.Bukan Ikatan
Penerbit Buku INPRES. Ini berarti IKAPI wajib mengeluarkan anggotanya
yang melakukan perdagangan buku langsung ke sekolah secara tidak jujur.
IKAPI sendiri wajib membersihkan para pengurusnya yang melulu hanya
menerbitkan buku-buku pelajaran dengan tujuan dijual langsung ke sekolah
dengan cara-cara yang tidak jujur.
2. GATBI
(Gabungan Toko Buku Indonesia) memberikan selebaran ke sekolah-sekolah
yang isinya menghimbau agar orang tua murid membeli buku langsung ke
toko buku dan menolak pembelian buku paket di sekolah-sekolah.
3. Toko Buku yang berdekatan dengan sekolah-sekolah
mengeluarkan selebaran yang isinya menjual buku-buku sesuai yang diminta
sekolah yang bersangkutan dengan discount 20 - 25%. Toko buku tidak akan
rugi karena mendapatkan discount 30 - 35% dari penerbit. Sisa discount
dapat dipakai untuk mencetak selebaran.
4.
Pengarang Lepas mencabut izin penerbitan buku-bukunya apabila diketahui
buku-buku yang dikarangnya dijual langsung ke sekolah oleh para
penerbitnya. Pengarang Karyawan yang bekerja pada suatu penerbit untuk
menulis buku pelajaran bersedia "resign" apabila penerbitnya menjual
buku langsung ke sekolah.
Menurut saya langkah ini
jauh lebih kongkrit ketimbang mengharapkan peran serta pemerintah untuk
mengatasi kasus korupsi diperbukuan. Tidak pernah ada sejarah pemerintah
mampu memberantas korupsi yang sudah dapat taraf Mass Corruption.
Pertanyaan lebih lanjut, beranikah organisasi-organisasi di atas
melakukan pembersihan diri dan melakukan perlawanan terhadap
kesemrawutan perdagangan buku di negara ini?
"Tahukah kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari..."
(Pramoedya Ananta Toer)
Post a Comment
<< Home